Meriam Lada Sicupak adalah sebuah meriam milik Kekaisaran Utsmaniyah yang diberikan kepada Kesultanan Aceh pada tahun 1631-1636. Meriam tersebut dinamai demikian karena merupakan hasil pertukaran antara hasil bumi Aceh berupa segenggam (bahasa Aceh: secupak) lada yang diberikan kepada Sultan Selim II.
Kejadian itu terjadi ketika Kesultanan Aceh mengirimkan sejumlah delegasi ke Konstantinopel, pusat pemerintahan Kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Mereka membawa sejumlah besar komoditas berharga untuk diberikan kepada penguasa setempat, Sultan Suleiman I al-Qanuni.
Namun tetapi, Begitu tiba di tujuan, para utusan Aceh tersebut tidak bisa langsung menemui Sultan al-Qanuni. Di karenakan pemimpin Utsmaniyah itu sedang melakukan pertempuran melawan Hungaria di Balkan dalam Perang Szigetwar.
Oleh sebab itu para delegasi yang di kirim harus menghabiskan waktu lebih lama di Konstantinopel untuk menunggu pertempuran selsesai.
Dengan usaha sendiri, mereka menyewa tempat dan mencari penghasilan dengan menjual berbagai komoditas yang dibawanya.
Sebelum pertemuan, para delegasi Aceh dengan sangat terpaksa sudah menjual semua komoditas lada yang mereka miliki, termasuk bagian yang sesungguhnya diniatkan sebagai hadiah kepada sultan Turki.
Yang tersisa di tangan mereka hanyalah secupak lada (1 cupak sama dengan seperempat gantang). Itulah yang dapat mereka tawarkan kepada Sultan Selim II.
Sultan Turki Usmani kemudian memutuskan untuk mengusahakan bantuan militer kepada Aceh. Tidak hanya ratusan personel pasukan, tetapi juga berbagai bentuk persenjataan yang canggih pada masanya.
Di antaranya adalah sebuah meriam yang belakangan dinamakan sebagai Lada Sicupak demi mengenang momen historis tersebut.
Peristiwa Lada Sicupak itu akhirnya meningkatkan hubungan politik-militer antara kekuatan Timur Tengah dan mitranya di Asia Tenggara. Sejak abad ke-16 Kesultanan Aceh dan Ottoman telah menjalin sebuah hubungan diplomatik yang cukup harmonis.
Bahkan hubungan tersebut dipertegas dengan dibuatnya mata uang berupa koin emas bertuliskan nama Sultan Aceh dan Sultan Ottoman yang berdampingan.
Sayangnya, bukti simbolis hubungan antara Aceh dan Turki itu tak bertahan lama. Pada 1873, Belanda berhasil melancarkan invasi kedua atas Banda Aceh.
Berbagai artefak dan persenjataan Aceh, termasuk Meriam Lada Sicupak, kemudian dikirimnya ke negara asal mereka di Eropa.
Namun, benda bersejarah itu kini disebut-sebut sudah berada di Aceh, tepatnya disimpan di Desa Blang Balok, Peureulak, Kabupaten Aceh Timur.