Pejuang wanita etnis Tionghoa

Perempuan Tionghoa ini adalah pejuang kemerdekaan Indonesia asal Wonosobo, Jawa Tengah. Beliau ikut bertempur melawan Belanda dan bergabung dalam Kompi 1 Batalion 4 Resimen 18, di bawah komando Sukarno (terakhir berpangkat Brigjend dan pernah menjadi Dubes RI untuk Aljazair).

Yang menjadikanya Istimewah adalah Sin Nio merupakan satu-satunya perempuan yang tergabung dalam Kompi 1 Batalyon 4 Resimen 18 di bawah komando Sukarno.

Dia ikut di garis terdepan perjuangan dengan senjata sederhana berupa golok, tombak hingga bambu runcing saat melawan Belanda. Sampai akhirnya suatu ketika gadis pejuang tersebut berhasil merampas senapan jenis LE dari pihak Belanda.

Dari bagian tempur, kemudian Sin Nio dipindahkan kebagian perawat atau palang merah, karena ada kekosongan juru rawat, padahal banyak sekali pejuang yang terluka dan butuh perawatan medis.

Sin Nio berhasil melaksanakan semua tugas yang dipercayakan kepadanya dengan baik.

Ketika Belanda yang menginginkan kembali menancapkan bendera triwarnanya di Bumi Pertiwi, semua rakyat Indonesia berjuang bersama, tanpa memandang gender, keturunan, dan agama.

The Sin Nio memiliki semangat besar untuk menjadi pejuang kemerdekaan. Demi dapat bergabung dengan gerilyawan, The Sin Nio merubah identitas administrasinya sebagai laki-laki dengan nama Mochamad Moeksin.

Sehingga dia pun dapat bergabung dengan pejuang lainnya dalam Kompi 1 Batalyon 4 Resimen 18, demikian berdasarkan laporan majalah Sarinah edisi 6 Agustus 1984. Majalah itu koleksi Museum Pustaka Peranakan Tionghoa di Tangerang Selatan.

Setelah kemerdekaan dan perang fisik telah usai, srikandi ini memutuskan menikah ,yang kemudian akhirnya memiliki enam anak dari dua orang suami, yang keduanya berakhir dengan perceraian.

Sebagai seorang janda ,tentulah sangat berat dengan menghidupi enam anak, keadaan ini yang membulatkan tekad Sin Nio berangkat dari Wonosobo ke Jakarta.

Keputusan ini juga diakibatkan oleh karena pejuang ini tak mendapatkan pensiun, yang semestinya adalah haknya sebagai pejuang kemerdekaan. Keberangkatan nya ke Jakarta untuk mengurus hak pensiunnya.

Sejak 1973 ia meninggalkan keluarganya untuk pergi ke Jakarta untuk menuntut haknya sebagai veteran.pejuang ini sampai di Jakarta dan menumpang tinggal selama sembilan bulan di Markas Besar Legiun Veteran Republik Indonesia di Jalan Gajah Mada.

Perjuangan panjang akhirnya pada tanggal 29 Juli 1976, Sin Nio berhasil mendapatkan pengakuan sebagai pejuang yang turut aktif mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Surat Keputusan pengakuan The Sin Nio dikeluarkan oleh Mahkamah Militer Yogyakarta. SK ini ditandatangani oleh Kapten CKH Soetikno SH dan Lettu CKH Drs.Soehardjo, juga sebagai saksi mata ditandatangani oleh Mayor TNI-AD Kadri Sriyono (Kastaf Kodim 0734 Diponegoro dan Dr R.Brotoseno (dokter militer pada Resimen 18 Divisi III Diponegoro.

Namun, SK tersebut tidak diiringi dengan hak pensiunnya. Sehingga Sin Nio tetap hidup kurang layak . Beliau hidup di seputaran pintu air tak jauh dari mesjid Istiqlal Jakarta.

Beliau menghabiskan sisa hidupnya hingga meninggal pada 1985 di usia 70 tahun di kawasan kumuh di dekat Stasiun Juanda, Jakarta.

“Saya tidak mau merepotkan bangsa saya, biarlah saya hidup dan mati dalam kesendirian, karena hanya Tuhan yang mampu memeluk dan menghargai gelandangan seperti saya!” ucap The Sin Nio pada majalah Sarinah.


Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawanya.The Sin Nio telah mempertaruhkan nyawanya di ujung peluru demi Kemerdekaan bangsa Indonesia, Namun justru berbanding terbalik semua pengorbanan itu dengan apa yang di dapat di masa hari tuanya.

Sumber :

Majalah Sarinah,6 Agustus 1984, Koleksi Museum Pustaka Peranakan Tionghoa serta berbagai sumber media.

Previous Post Next Post